Dia
Dia mengajarkanku banyak hal. Mengenalkanku pada banyak pengalaman. Darinya aku menjadi seperti sekarang. Versiku lebih baik dari sebelumnya. Hal-hal yang takan pernah aku ketahui tanpa sebuah pengalaman nyata. Bahwa, cinta tak cukup dengan tekad dan nekad. Bahwa mencintai cukup seperlunya, selogis mungkin, serealistisnya seperti seharusnya, jadi kami takan hancur pada akhirnya.
Dari pada hal besar, aku lebih suka detail kecil. Seperti lebih tersentuh saat dia hanya memiliki uang dua puluh lima rupiah hasil dari menjaga warnet, kemudian membelikan aku eskrim kesukaanku seharga enam belas ribu, sedangkan dia hanya membeli satu minuman murah rasa jeruk. Dia memberiku setengah lebih banyak dari yang dia miliki. Bagiku itu sangat besar.
Atau saat dia mengenalkan aku pada semua teman temannya, pada ibu dan ayahnya. Aku dan segala kekuranganku, dan problematika kehidupan yang kumiliki kemudian dia menghapus segala ketidak percayaan diriku. Dia membuatku merasa cantik dan layak dicintai. Dia juga pernah cemburu dengan sahabatnya sendiri karena terlalu dekat denganku. Caranya cemburu, sungguh lucu. Aku menyukai caranya marah.
Bagian favoritku adalah night ride berdua dan touring dengan anggota club motornya. Pernah kehujanan, pernah juga jatuh dari motor. Kami terpelanting cukup jauh. Waktu itu dia yang paling terluka. Kakinya berdarah-darah dan tetap saja dia paling mengutaman aku. Dia menghampiriku dengan segala kekhawatiran yang tergambar jelas di raut wajahnya. Memastikan bahwa aku baik-baik saja. Badanku tremor, itu sungguh pengalaman pertamaku jatuh dari motor. Lalu dia berkata dengan senyum dibibirnya "jangan kapok". Tentu, tidak akan. Bodohnya malah aku pikir, aku akan siap untuk jatuh beberapa kali lagi nanti, asal bersamanya.
Kami hanya remaja saat itu. Pengalaman pertama ku mencintai seseorang secara menggebu. Tidak ada yang aku sesali. Banyak hal luar biasa yang dapat kupelajari. Pengalaman yang akhirnya mengajarkanku pada pendewasaan. Memang, saat ini pun aku belum dewasa. Tetapi hal-hal seperti kemarin membuatku lebih berhati-hati dan selalu menyeleksi. Mana yang perlu dan tidak perlu. Mana harus di prioritaskan. Darinya aku dibohongi dan kemudian aku memiliki kesempatan mencerna apa itu nasihat orang tua untuk tidak mudah percaya pada orang lain.
Cinta itu euphoria dan euphoria tak berlangsung selamanya. Sedikit demi sedikit kami paham, kami takan hidup seperti ini seterusnya. Perasaan kami perlahan padam dan bosan mulai datang. Apalagi saat kami terjebak pandemi. Kami kehilangan aktifitas kami. Tidak ada lagi agenda ketemuan, night ride, makan bersama, nonton dibioskop, apalagi touring. Pandemi memenjarakan semuanya. Kami selalu butuh kehadiran satu sama lain untuk mengusir kesepian sebagai anak anak yang jauh dari orang tua. Kemudian kami gagal beradaptasi dengan keadaan. Kami berdua bukan tipikal orang yang cukup dengan teleponan. Kami butuh distraksi diluaran. Terutama fakta bahwa kami remaja. Perasaan untuk selalu bersama kadang sangat amat sulit untuk di kontrol. Lahirlah banyak perdebatan. Banyak konflik dan saling menyalahkan. Kami sama sama jenuh dengan tempelate percakapan membosankan lewat pesan-pesan singkat. Ditambah kami harus belajar mandiri yang membuatku cukup kepayahan. Aku cukup percaya diri waktu itu, kami akan melewati masa ini hingga pandemi selesai. Aku belajar mengalah dan berusaha tak memperumit keadaan. Ku kira dia juga sepertiku sedang bertahan mati-matian. Namun dia lebih memilih mencari seseorang yang dapat menggantikan peranku. Seseorang yang dapat dia temui presensinya. Sedangkan aku terpenjara dirumah tanpa tahu dia semakin jauh mencari kenyamanan.
Desember 2021 dia mengakhiri segalanya. Sesuatu yang kupikir hanya bercandaan, ternyata dia sangat serius. Dia bilang ini semua demi kebaikanku. Bahwa aku harus fokus pada sekolahku. Dia juga meminta maaf. Dia bilang aku terlalu baik untuk dirinya. Butuh beberapa waktu untuk menerima kenyataan dengan fakta yang sedikit demi sedikit terkuak kepermukaan. Bahwa dia telah memiliki seseorang yang lain. Beberapa teman nya memberitahuku kebenarannya. Dan kemudian aku paham apa arti kepercayaan dan harga diri.
Kurelakan dia pergi demi harga diri. Aku tak ingin terjebak di pusaran perasaan menyebalkan. Bahwa dikhianati sangat menyakiti hati. Tadinya aku sangat amat benci. Namun darinya juga aku paham arti dari merelakan dan memaafkan demi kedamaian diri. Darinya pula aku tahu seperti apa itu rasanya patah hati. Kenangan hanyalah kenangan. Baik dan buruknya adalah pelajaran. Sudah kurelakan, sudah tak kurindukan. Hanya ingin berterimakasih telah berbagi pengalaman. Kita hanya dua remaja yang pada akhirnya gagal dan tak ada yang perlu disesalkan. Semuanya telah berakhir. Aku dapat pelajaranku dan dia dapat pelajaranya.
Aku hanya mencoba untuk tidak denial pada moment disaat dia menunjukan ketulusanya. Karena berpikir bahwa aku telah dibohongi dari awal hingga akhir selama empat tahun rasanya menyakitkan. Aku layak dicintai. Aku berharga. We just don't make it till the end.
Comments
Post a Comment