Corpus Meum

Luceria Amarante tumbuh di desa Velonia, di mana kabut pagi turun begitu rendah seakan ingin memeluk genteng-genteng tua dan jalanan tanah yang lembap. Rumah kayu mereka sempit, berdiri rapuh di antara kebun sayur milik tetangga dan sungai kecil yang kian menyusut. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Tiga dari ibu kandungnya, dua dari perempuan lain yang kini menjadi istri ayahnya. Ayah yang jarang pulang. Ibu yang sakit-sakitan. Dan adik-adik yang belum mengerti apa pun selain lapar dan pertengkaran di malam hari.

Sejak usia 17, Luceria menjadi pengganti orang tua. Ia menanam sawi dan menjual telur bebek. Lalu ia merantau, membawa ransel kecil dan doa pendek dari ibunya. Tak ada perpisahan dramatis. Hanya kalimat lirih: "Kalau kamu bisa bertahan di luar sana, keluarga kita masih bisa makan." Ia mengangguk. Dan pergi.

Stasiun Civitas Terminalis tidak mengenal pelukan selamat datang. Hanya deru mesin, langkah tergesa, dan udara logam yang terasa asin di lidah.

Luceria turun dari gerbong terakhir, menyeret koper dengan roda cacat yang berbunyi krek-krek setiap beberapa langkah. Punggungnya basah. Rambutnya lengket. Jaket pinjaman itu sudah tidak bisa menghalau angin dari celah dunia.


Kota ini tidak ramah. Tapi dia tidak berharap keramahan.


Ia hanya perlu tempat untuk bertahan.


Ia mendapat pekerjaan di pabrik sektor Ferratus—memotong kabel dan menyusun komponen selama 14 jam sehari, enam hari seminggu. Setiap hari, ia berdiri selama empat belas jam, enam hari dalam sepekan, memotong kabel sesuai ukuran, menyusun komponen, dan memastikan tidak ada kesalahan dalam jumlah maupun bentuk. Pekerjaan itu monoton dan kasar, namun stabil, dan untuk seseorang seperti Luceria, stabilitas lebih berharga daripada rasa nyaman.


Tubuhnya mulai terbiasa dengan irama kerja yang tak memberi ruang untuk keluhan. Satu-satunya waktu yang bisa ia curi untuk dirinya sendiri adalah saat malam, ketika ia kembali ke kamar sewa kecil di gang sempit yang pengap, duduk di tepi tempat tidur, dan membiarkan napasnya mengendap pelan.


Namun malam itu berbeda. Saat ia menuruni tangga apartemen untuk membeli makanan murah di kios dekat lampu jalan, ia bertemu dengan seseorang—seorang pria yang kelak akan memegang peran penting dalam kejatuhannya.


Pria itu berdiri di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, memegang sebungkus rokok dan sebotol air mineral yang baru dibeli dari kios. Saat Luceria berjalan melewatinya, ia menoleh dan tersenyum, senyum yang ringan namun cukup membuat orang berhenti sejenak. Entah karena sapaan itu atau karena tubuhnya yang terlalu lelah untuk terus berjalan, Luceria menoleh balik.


“Pendatang baru?” tanyanya, nada suaranya santai namun tak benar-benar ramah.


Luceria mengangguk. Ia tidak punya tenaga untuk membalas dengan kata-kata.


“Namaku Alvar,” ujarnya, mengulurkan tangan. Luceria ragu sejenak sebelum menyambutnya. “Luceria.”


Beberapa hari kemudian, mereka kembali bertemu di kios yang sama. Lalu bertemu lagi saat pagi saat Luceria hendak berangkat kerja. Lalu suatu malam, ketika hujan turun deras dan atap kamar sewanya bocor, Alvar mengajaknya berteduh di kamarnya yang letaknya hanya dua lantai di bawah milik Luceria.

“Kalau kau tetap di sana, bisa-bisa seluruh pakaianmu basah. Kamar ini cukup luas, dan aku tidak akan macam-macam,” katanya dengan nada bercanda yang tidak terlalu berhasil membuat Luceria nyaman. Tapi ia menuruti juga. Hujan terlalu deras. Atap terlalu rapuh. Dan dirinya terlalu letih untuk berdebat.

Hari-hari berikutnya mulai terasa berbeda. Alvar menjadi teman bicara, penyedia roti dan air kemasan murah, bahkan sesekali memasak mie instan untuk mereka berdua. Ia juga menawarkan sebuah ide yang terdengar masuk akal pada saat itu: “Mengapa tidak tinggal saja bersamaku? Kita bisa membagi sewa dan listrik. Lagipula, ini akan jauh lebih hemat untukmu.”

Luceria tidak bodoh. Ia tahu apa konsekuensi dari tinggal satu atap bersama pria muda yang ia kenal belum sampai sebulan. Tapi angka-angka di catatan keuangannya lebih menyeramkan daripada pikiran buruk yang mencoba ia redam. Ia menyetujui tawaran itu. Dengan satu syarat: tidak ada ikatan apa pun.


Namun manusia jarang bisa menjaga batas ketika tinggal dalam ruang sempit yang sama terlalu lama. Suatu malam, Alvar menariknya ke tempat tidur dengan cara yang tidak sepenuhnya dipaksa, tapi juga tidak sepenuhnya dikehendaki. Luceria tidak menolak. Ia tidak punya kekuatan untuk mengatakan tidak. Dalam pikirannya, mungkin ini adalah bentuk balasan atas tumpangan dan makanan selama dua pekan terakhir.

Satu minggu kemudian, mereka resmi menjadi pasangan. Setidaknya, begitu kata Alvar pada teman-temannya. Luceria tidak pernah menyebut hubungan itu dengan istilah apa pun.


Di sektor Ferratus, waktu tidak berjalan. Ia terkikis.


Jam kerja dimulai pukul enam pagi dan berakhir saat langit kehilangan warna. Luceria, bersama ratusan tubuh lain yang mengenakan seragam abu-abu dan sepatu bot licin, berdiri di jalur perakitan. Tugasnya sederhana tapi melelahkan: memotong kabel sepanjang dua belas sentimeter dengan ketelitian milimeter, menyusun komponen kecil dalam posisi yang sama, ribuan kali dalam sehari.

Suara mesin mendesis seperti napas terakhir makhluk besar yang tak terlihat. Cahaya neon menggantung redup di atas kepala mereka, tak memberi rasa hangat, hanya silau yang menusuk pupil. Udara penuh debu serat plastik dan bau logam terbakar.

Para mandor berdiri di sudut-sudut ruangan, seperti bayangan tanpa wajah. Mereka tidak berbicara, hanya mencatat, kadang berbisik lewat radio kecil yang terselip di kerah. Jika satu kesalahan terjadi, alarm kecil berbunyi dan pekerja harus berdiri tegak, menerima teguran lisan yang tajam seperti cambuk. Luceria sudah hafal pola itu. Bahkan sebelum alarm berbunyi, tubuhnya sudah menegang.

Pada hari keempat belas, kulit di sela jarinya mulai mengelupas. Tangannya gemetar setiap malam. Tapi tidak ada waktu untuk mengeluh. Uangnya harus dikirim ke rumah: untuk sekolah adik, untuk obat ibunya, untuk tagihan listrik yang terlambat tiga bulan.

Di malam hari, ia pulang ke unit sempit itu. Alvar kini jarang berbicara padanya. Kadang pulang larut malam dengan parfum asing menempel di leher bajunya. Kadang tidak pulang sama sekali.


Luceria tahu, tapi ia terlalu lelah untuk bertanya.


Unit itu semakin sempit, seolah dinding-dindingnya menyusut sedikit demi sedikit setiap malam. Kipas angin di langit-langit berderit seperti tengkorak tua. Luceria duduk di lantai, memijit betisnya yang membiru. Uap dari panci listrik membumbung pelan, mengembun di jendela kusam. Tidak ada yang dimasak di sana—hanya air.

Alvar masuk tanpa suara. Bau rokok dan alkohol melekat di tubuhnya, bercampur aroma bedak yang bukan milik Luceria. Ia meletakkan tas selempangnya di kursi tanpa menoleh.


“Tidak masuk kerja?” tanyanya datar.


Luceria mengangguk pelan. Hari ini, tubuhnya menolak bangkit. Napasnya pendek sejak subuh. Ia tidak sanggup berdiri lebih dari lima menit. Tapi ia tidak mengatakannya. Ia hanya menjawab, “Aku akan ganti hari liburku.”


Alvar tidak membalas. Ia membuka lemari kecil, mengambil kemeja hitamnya, lalu berdiri di depan cermin.


"Alvar," suara Luceria lirih, "kita... masih pacaran, bukan?"


Lelaki itu tertawa, pendek dan kering. “Apa kau baru sempat berpikir soal itu sekarang?”


Luceria menunduk. Di bawah kuku-kukunya, masih tersisa hitam bekas kabel terbakar.


"Aku tinggal di sini karena murah," lanjut Alvar, suaranya semakin tajam, "dan kau tinggal di sini karena tidak sanggup bayar sendiri. Jangan membuat kesepakatan ini jadi melodrama."


"Jadi, semua ini cuma soal... uang sewa?"


"Aku tidak ingat pernah menjanjikan lebih."


Luceria terdiam. Sesuatu dalam dirinya retak, namun tidak meledak. Ia hanya diam, menatap uap yang mengembun di kaca jendela. Wajahnya samar di sana, menyatu dengan siluet jamur yang tumbuh di sisi jendela.


Alvar mengambil jaket dan kunci motor. "Aku pulang pagi. Jangan kunci pintu."


Pintu tertutup. Suara mesin motor menjauh. Luceria tidak bergerak.


Pagi itu, suara burung tidak terdengar. Yang ada hanya dengung monoton dari pabrik Ferratus, samar terbawa angin pagi yang lembap. Luceria terbangun karena nyeri di tengkuknya, hasil tertidur di lantai tanpa bantal. Bibirnya kering, retak, dan mengelupas sedikit. Ia menjilatinya pelan, tapi rasa darah tetap tersisa.


Ponselnya berkedip. Satu pesan. Bukan dari keluarga, bukan juga dari tempat kerja.


Pesan dari Alvar. Singkat.


“Aku tidak akan kembali. Sudah terlalu lama kita pura-pura. Jangan hubungi aku lagi.”


Tidak ada salam. Tidak ada penjelasan. Hanya kalimat datar, seperti pengumuman pabrik: jelas, dingin, dan tidak mengundang tanya.

Luceria menatap layar itu lama, hingga cahaya dari jendela mengubah ponsel menjadi cermin kusam. Wajahnya terlihat di sana—pucat, cekung, dan asing.

Ia tidak menangis. Bahkan tidak kaget. Mungkin karena tubuhnya lebih dulu lelah daripada hatinya. Atau karena ia sudah tahu, sejak Alvar lebih sering pulang dengan bau tubuh orang lain.

Ia bangkit, mengganti baju dengan gerakan mekanis. Menyikat gigi tanpa melihat cermin. Sarapan hanya seteguk air. Lalu keluar, menuruni tangga beton dengan langkah gemetar.

Di halte, dunia bergerak seperti biasa: orang-orang dengan roti di tangan, anak-anak berseragam, tukang ojek dengan rokok menyala. Dunia tidak menunggu siapa pun yang patah.



---



Setelah dicampakan oleh Alvar, Luceria pindah ke unit lebih murah di gang kecil, di rumah susun bernama Domus Umbrae. Di sana, hanya ada satu kamar mandi untuk sepuluh orang. Jika tak tahan, orang buang air di lorong. Bau pesing, limbah, dan ketukan tak pernah berhenti. Tempat itu bisa membuat seseorang gila jika terlalu lama tinggal disana. Lebih seperti tempat pembuangan sampah karena sungguh tidak layak huni.


Ia mulai kelaparan. Makan sekali sehari. Kadang tidak sama sekali. Uangnya sering habis bahkan sebelum akhir bulan.


Luceria mulai mengalami halusinasi ringan sejak bulan kedua tinggal di Domus Umbrae. Ia melihat bayangan dirinya sendiri duduk di sudut kamar, memandangnya tanpa mata. Terkadang, bayangan itu berbicara—dengan suara ibunya, suara adik-adiknya, suara Alvar.


"Kenapa kamu menyerah?" "Kami lapar, Luceria." "Kamu jelek sekarang. Itu sebabnya Alvar pergi."


Ia menutup telinga, tapi suara-suara itu tak pernah benar-benar hilang. Setiap malam, dinding unitnya terasa lebih sempit, dan langit-langit makin rendah seolah ingin menelannya hidup-hidup. Ia tidak menangis. Air matanya seperti berhenti diproduksi.

Dalam tidur yang tipis, ia bermimpi dirinya berada dalam rumah kaca, dikelilingi oleh orang-orang yang menunjuknya dan berbisik, "Lihat, itu perempuan gagal."


Pagi hari datang bukan sebagai awal, tapi sebagai kutukan baru.


Luceria berhenti menulis pesan ke keluarganya. Ia tak sanggup mengarang kabar baik. Tak ada lagi telepon. Ia hidup seperti hantu yang menyusuri kota dengan langkah goyah dan senyum kosong.

Rutinitasnya hanya berangkat kerja, pulang lalu tidur untuk melupakan rasa laparnya. Itu pun jika rasa laparnya tidak membuatnya terjaga. Antrean mandi pada jam itu sedang banyak banyaknya. Luceria memilih mandi jam dua atau tiga pagi. Minim gedoran yang menyuruhnya cepat cepat menyelesaikan kegiatannya.


Hari ini, Luceria belum makan sama sekali.


Perutnya perih, lambungnya terasa seperti menggerogoti dirinya dari dalam. Ia duduk di pojok ruangan sempit, memeluk lutut, sambil menggigit handuk yang hendak ia pakai. Seratnya kasar, bau deterjen murah tercampur dengan apek lembab, tapi itu masih lebih baik daripada rasa kosong di mulutnya.

Pandangannya kosong. Dinding kamarnya retak, bercak lembab menggurat seperti peta luka yang tak bisa dihapus.


Suara itu datang lagi.


Bukan suara orang lain—tapi suaranya sendiri. Tertawa terbahak-bahak dalam gema yang menyayat kepala.


“Sebentar lagi kau akan mati. Mati kelaparan. Betapa... mengenaskan.”


Luceria menggigit lebih keras. Suara itu belum selesai.


“Kalau kau begitu lapar... kenapa tidak makan saja dagingmu sendiri? Kurasa jari-jari kakimu tidak terlalu berguna.”


Ia mengalihkan pandang. Jari-jari kakinya bergerak pelan, seolah sadar sedang dibicarakan. Sejenak, ia merasa geli—atau jijik—atau keduanya. Tapi rasa lapar menenggelamkan semua emosi.


Ia mengambil pisau dapur. Tumpul.


Dengan ujung logamnya, ia menelusuri setiap jari, seolah sedang memilah bahan masak di pasar. Jempol kaki. Ya, itu yang paling masuk akal. Saat lapar, manusia cenderung memilih bagian terbesar.


“Ini bukan makan malam keluarga,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Cuma aku dan... aku.”


Pisau itu menekan. Daging. Lalu urat. Lalu tulang.


Ia mengerahkan tenaga, menyeringai bukan karena sakit—tapi karena antusiasme. Tak ada jeritan, tak ada air mata. Mungkin ia benar-benar sudah gila. Mungkin ia hanya lapar.

Saat jempol itu akhirnya terlepas, Luceria membungkus lukanya dengan baju lama yang tergelatak di dekat kasur tipisnya. Darah menembus serat kain seperti tinta tua di kertas rapuh.

Tangannya gemetar saat menyalakan panci listrik. Ia menuang air, menunggu gelembung muncul satu demi satu.


Suara panci mendesis pelan. Sunyi menyergap, dan untuk sesaat, ia merasa damai.


“Ini bukan kanibalisme,” pikirnya.


“Ini cuma... bertahan hidup.”


Luceria memakan daging itu dengan diam.

Tanpa bumbu, tanpa nasi, tanpa doa.

Ia mengunyah perlahan, gigi-giginya bekerja kaku, seperti mesin tua yang terpaksa kembali digunakan.


Rasanya asin. Bukan karena garam, tapi karena darahnya sendiri yang masih tersisa, meresap dalam serat-serat daging yang pernah menjadi miliknya.

Perutnya tak menolak. Ia merasa lebih tenang. Tapi ada sesuatu yang lain tumbuh dalam dirinya—sebuah suara baru, lebih dalam, lebih lirih, lebih kejam.


“Kau sudah mulai. Dan kau tidak bisa berhenti sekarang.”


Luceria menoleh ke sudut ruangan.

Bayangan itu duduk di sana. Wujudnya samar, menyerupai dirinya, hanya lebih kurus, lebih gelap. Matanya kosong, senyumnya panjang—dan ia bertepuk tangan.


“Lapar adalah pelajaran pertama. Sekarang kau tahu: tubuhmu adalah satu-satunya warisanmu.”


Luceria tertawa kecil. Tawa yang patah dan tanpa gema.


“Aku tidak punya siapa-siapa,” bisiknya. “Tidak ada rumah. Tidak ada pulang. Tidak ada tempat.”


“Salah,” kata bayangan itu. “Ada satu tempat: dirimu sendiri. Satu-satunya tempat yang bisa kau hancurkan tanpa siapa pun marah.”


Ia menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena ia mulai memahami.


Tubuhnya bukan lagi tubuh.

Tubuhnya adalah ladang terakhir.

Tubuhnya adalah rumah yang bisa ia rusak tanpa ada yang memperbaiki.

Tubuhnya adalah makanan untuk bertahan satu hari lagi.



---


Malam selanjutnya, malam kedua, Luceria tak tidur. Malam itu ia hanya duduk, menatap tangan sendiri, seperti menatap peta.

Tangan kanan—tangan yang pernah ia pakai untuk menulis surat lamaran kerja, menyisir adiknya sebelum berangkat sekolah, memasak untuk ibunya saat hujan tak kunjung reda. Tangan yang sekarang terasa seperti dahan kering.


Bayangan itu duduk di sampingnya, menyeringai seperti cermin rusak.


“Mereka tidak butuh tanganmu, bukan? Kau sudah jauh. Mereka bahkan tak menelepon lagi.”


Luceria menggigit bibir. Tangannya berdenyut, tapi bukan karena sakit—karena rasa sayang yang membusuk.


“Kau sudah menjadi ibu bagi semua orang… Tapi siapa yang jadi ibu untukmu?”


Pisau tua itu kembali bekerja. Kali ini ia menangis.

Bukan karena sakit. Tapi karena perlahan ia mulai percaya bahwa rasa sakit itu lebih nyata daripada cinta.


Jari telunjuk yang pertama. Ia menyimpannya dalam kain, lalu mengunyah sambil menangis.

Ada rasa daging, tapi juga rasa kehilangan.

Ada rasa asin, tapi juga rasa sunyi yang tak bisa ia sembunyikan di perut mana pun.


Luceria meringkuk dilantai seperti janin di dalam perut. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Noda merah bekas darah mengering disudut bibirnya. 

Suara ketukan pintu membangunkannya. Pagi telah tiba. Luceria duduk mematung, tubuhnya masih basah oleh keringat dingin.


“Nona? Kau tidak kerja hari ini?”

“Kami dengar semalam ada suara tangisan... semuanya baik-baik saja?”


Itu suara tetangga dari lorong. Orang yang sering menyapa tapi tak pernah tahu nama lengkapnya.

Luceria diam. Ia tak membuka pintu. Hanya menempelkan tubuhnya ke dinding, menahan napas.


“Kami ada sisa nasi. Kalau mau…”


Langkah menjauh. Pintu tetap tertutup.

Luceria mendekat ke lubang intip. Tak ada siapa-siapa. Tapi di seberangnya, dia melihat dirinya sendiri berdiri. Versi yang lebih sehat, lebih cantik, lebih hidup. Yang masih bisa tertawa.


“Mereka tidak butuhmu bahagia. Mereka cuma ingin kau tetap berguna. Begitu kau rusak… mereka buang.”


---


Malam ketiga, Luceria bermimpi.

Ia duduk di meja makan bersama ibunya. Lampu gantung di atas kepala mereka redup, tapi hangat. Di meja, ada sup ayam, sambal, dan nasi hangat. Aroma daun jeruk.

Untuk sesaat, semuanya terasa seperti rumah.


“Kamu kurusan, Nak,” kata ibunya.

“Tapi kamu tetap anak Ibu.”


Luceria tersenyum. Tapi ketika ia melihat tangannya, jarinya tinggal empat. Ia mencoba menutupi dengan serbet. Tapi ibunya melihat.


“Apa yang kamu lakukan pada dirimu sendiri?”

“Kami tidak pernah meminta semua ini darimu.”


Tapi itu bohong. Luceria tahu. Mereka memang tidak pernah meminta dengan kata-kata. Tapi tatapan, diam, dan ketergantungan... adalah bentuk permintaan paling tajam.

Saat ia terbangun, mulutnya masih terasa asin. Tapi kali ini bukan dari darah. Tapi dari air mata.

Dan suara itu kembali berbisik:


“Kau lihat? Bahkan dalam mimpi, kau tidak bisa pulang.”



Luceria duduk diam di lantai, punggungnya menyandar ke dinding yang mengelupas. Udara ruangan pengap, berbau anyir dan hangus dari luka-lukanya yang mulai membusuk. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena dingin—melainkan karena rasa lapar yang sudah melampaui rasa sakit.

Bayangan itu tak perlu berbicara lagi. Ia hanya berdiri di pojok ruangan, menatap Luceria seperti penonton teater yang tahu adegan terakhir sudah dekat.

Luceria memegang cermin kecil, sisa dari kosmetik murah yang pernah ia beli di awal-awal kerja. Ia menatap wajahnya sendiri.
Sepasang mata yang dulu menyala kini redup seperti lilin yang hampir padam.
Dan telinga—kuping kiri—masih utuh. Belum disentuh.


“Apa gunanya mendengar kalau tak ada yang mau bicara padamu?”


Tangannya bergerak. Pisau dapur berkarat itu naik perlahan.

Detik-detik berikutnya menjadi sunyi. Hanya ada suara napas tercekat dan irisan kecil dari daging yang lepas perlahan dari kepala.

Dunia menjadi senyap. Bukan karena ia tuli—tapi karena tidak ada lagi yang tersisa untuk ia pahami dari suara manusia.

Kupingnya tak direbus seperti sebelumnya. Luceria mengunyahnya mentah mentah perlahan, tanpa emosi. Lagi pula ini adalah bagian dari dirinya sendiri.

Dan malam itu, tubuhnya ditemukan kaku dalam posisi duduk.
Tangan di pangkuan, mata terbuka menghadap langit-langit.
Seolah ingin berkata:
"Aku pernah ada. Aku pernah mencoba."



---



Beberapa hari setelah tubuh Luceria ditemukan, kamar sewa itu dikosongkan. Penghuni lain enggan menyentuh apapun. Ada sesuatu yang tersisa di sana—bukan hantu, tapi kesunyian yang berat dan menggantung.

Orang-orang bicara pelan tentangnya.
"Dia pendiam."
"Anaknya rajin, tapi terlalu tertutup."
"Terkadang kita lihat dia senyum sendiri… ngeri sih."

Tak ada keluarga yang datang mengambil jenazahnya. Hanya secarik kertas wasiat sederhana ditemukan di sakunya:

“Aku tidak ingin dikubur. Biarkan aku larut, seperti kabut pagi yang dilupakan.”


Tapi tentu saja, jasad tetap dikubur. Tanpa nisan.
Hanya ditandai batu kecil dengan cat yang mulai luntur:
L. A.

Di malam-malam berikutnya, orang-orang yang tinggal di gedung yang sama kadang bermimpi. Tentang tangan-tangan yang mengetuk jendela dari luar.
Tentang suara pisau yang diseret di lantai.
Dan tentang gadis yang menatapmu dari pojok ruangan, dengan mata yang berkata:
“Kamu lapar juga, ya?”

Comments

Popular Posts