Aku tidak percaya pada konsep "penebusan dosa".
Karena ada hal-hal yang tidak perlu ditebus. Cukup dinikmati perlahan, seperti luka yang dibiarkan terbuka hanya agar bisa kau colok-colok dengan jari—sekadar memastikan rasa sakitnya masih ada. Masih nyata.
Di kursi roda itu, dengan tubuh yang menggelepar tak sempurna, Darian tergeletak seperti bangkai yang tidak sempat dikuburkan. Sudah bertahun-tahun sejak dia terakhir berdiri. Dan lebih lama lagi sejak dia terakhir menatapku tanpa ketakutan.
“Kenapa kamu... datang lagi?” bisiknya. Satu sisi wajahnya sudah sulit digerakkan. Tapi matanya masih bisa bicara. Masih bisa gemetar. Dan itu cukup.
Aku tersenyum kecil. Sopan. Hangat, bahkan. Seperti senyum seorang teman lama yang datang menjenguk karena rindu.
“Tentu saja karena aku peduli,” ucapku. “Kau dulu teman SMP-ku, Darian.”
Dia menelan ludah. Sulit. Bagian lehernya sedikit kejang. Kupuji refleksnya yang masih berfungsi.
Dan aku menikmatinya. Pelan-pelan. Setiap detik tatapan ngeri itu meresap ke kulitku seperti parfum mahal. Aku ingin dia hidup lama. Lama sekali. Biar dia terus melihat wajahku dan mengingat—bahwa aku yang menjatuhkannya. Bahwa aku, Saverin, adalah akhir dari tubuhnya yang dulu sombong dan beringas.
Aku berjalan pelan ke jendela, membuka tirai, membiarkan cahaya matahari memantul di mataku. Aku tahu dia memperhatikanku dengan sisa penglihatannya. Takut aku akan berbalik. Takut aku akan mendorongnya dari kursi roda. Takut aku akan melakukan sesuatu seperti dulu. Dan yang paling menyenangkan adalah—aku tidak perlu melakukan apa-apa. Rasa takutnya sudah cukup memberi makan jiwaku.
“Aku dengar Reno sekarang jadi pengangguran,” kataku, seolah bicara tentang berita cuaca. “Susah ya, kalau ada catatan kriminal sejak remaja. Sekolah juga nggak nerima, apalagi kerja kantoran.”
Aku membalikkan badan. Menatap Darian. “Oh, iya. Sasa pindah kota, kan? Trauma katanya. Kadang aku bertanya-tanya, apakah dia juga melihat mimpi buruk yang sama sepertiku. Bedanya... aku bangun dengan senyum.”
Wajah Darian pucat. Pelipisnya berkeringat. Aku bisa mendengar detak jantungnya dari jarak dua meter. Kalau aku taruh stetoskop di dadanya sekarang, mungkin aku bisa membuatnya kena serangan panik ringan. Atau stroke kedua. Tapi aku tidak datang untuk itu.
Bukan hari ini.
Hari ini aku hanya datang untuk memastikan luka itu belum sembuh.
Aku masih ingat dengan sangat jelas—langit sore itu mendung, dan angin berhembus agak kencang. Di antara dinding abu-abu sekolah dan lorong-lorong panjang yang sepi, langkah kaki mereka menggema, penuh tekad dan kemarahan.
Mereka menyeretku ke atap gedung sekolah. Darian berada paling depan, wajahnya selalu menyimpan ekspresi puas ketika ia merasa berkuasa. Reno mengunci lenganku dari belakang, sementara Sasa dan Dito mengikuti dari samping, tertawa kecil, seolah-olah semua ini hanyalah permainan.
Tidak ada kamera pengawas di sana. Hanya tembok tinggi dan langit yang menjadi saksi.
Mereka memukulku. Beberapa kali. Pukulan yang tidak terlalu terlatih, tapi cukup menyakitkan untuk membuatku jatuh. Aku tidak berteriak. Aku tahu, mereka tidak menginginkan suara tangisan. Mereka menginginkan ketakutan.
Dan aku menolak memberikannya.
Aku berusaha kabur, tubuhku bergetar, napasku tak beraturan. Di tangga darurat, aku tersandung dan jatuh. Rasanya sakit—lututku terluka parah. Tapi di sanalah, di sudut tangga itu, sebuah kamera pengawas kecil terpasang di langit-langit.
Aku menatapnya cukup lama sebelum Reno menangkapku lagi dan menyeretku kembali ke atas. Rekaman itu menyelamatkanku.
Mereka memukul lebih keras kali ini. Mungkin karena aku mencoba lari. Atau mungkin karena mereka mulai lelah dan ingin mengakhiri semuanya.
Dan saat itulah aku mendorong Bram.
Bukan dengan tenaga besar. Hanya satu dorongan, satu insting untuk bertahan hidup. Ia terpeleset. Keseimbangannya hilang. Tubuhnya jatuh melewati batas pagar. Hening sesaat, lalu dentuman keras. Di bawah, tubuhnya tergeletak tak bergerak.
Semuanya yakin itu hanyalah kecelakaan. Kamera menangkap rekaman diriku yang terseret dan jatuh, terluka, dikejar. Setelah kejadian itu, aku dibebaskan dari hukuman. Aku dipeluk sebagai korban yang tidak sengaja membuat si pengganggu celaka. Guru-guru melihatku dengan iba. Orang tua murid lain memanggilku “korban”. Sekolah mengeluarkan tiga dari mereka. Nama mereka tercatat sebagai pelaku kekerasan. Dan Darian... mereka bilang ia akan lumpuh seumur hidup. Beberapa bahkan menyebutku pahlawan karena membela diri.
Sejak saat itu, kepalaku tidak pernah sunyi.
Hari hari berikutnya berlalu seperti mimpi yang aneh.
Ketika Bu Lydia, guru matematika, mengoceh tak henti tentang sopan santun di depan kelas, aku tidak mendengar satu pun katanya. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak, komat-kamit… lalu mata. Matanya, yang dalam bayanganku, berputar keluar dari rongga setelah kutusuk dengan pulpen. Cairan merah mengalir deras dari kelopaknya seperti tinta dari pena rusak.
Mungkin akan menyenangkan jika seisi kelas menyetujui tindakanku. Diam saja, membiarkan guru itu sekarat di depan sana.
Ketika ayah berteriak di meja makan, menuduhku anak tak tahu terima kasih, aku membayangkan menembakkan pistol ke dahinya. Kepalanya meledak pelan, suaranya redup—lebih mirip letusan permen karet. Ibuku menjerit. Aku hanya berdiri di sana, mengangkat gelas. Bersulang. Lalu menghabiskan makan malamku dengan damai.
Pernah, di stasiun, ada anak kecil meraung-raung. Ibunya acuh. Orang-orang kesal, tapi diam. Aku berdiri tak jauh, memperhatikan.
Di kepalaku, aku berjalan mendekat. Memeluk anak itu. Lalu melemparkannya ke tengah rel.
Bukan karena aku ingin membunuh. Tapi karena aku ingin melihat wajah ibunya. Aku ingin melihat ketakutan yang asli. Yang mentah, tak tersaring.
Itu... candu yang tak bisa kulepaskan.
Aku tidak ingin membunuh mereka semua. Aku hanya ingin tahu… apa yang akan mereka lakukan jika aku benar-benar melakukannya.
Apa yang akan mereka rasakan.
Rasa sakit mereka. Ketakutan mereka. Air mata mereka.
Itu bukan amarah.
Itu rasa ingin tahu.
---
Aku menjadi psikiater. Ironis, mungkin. Tapi takdir adalah tukang sulap yang sinis.
Aku duduk di ruang praktik seperti biasa. Tirai jendela digulung separuh, membiarkan cahaya senja menyaring perlahan ke permukaan meja kerjaku. Aroma kopi bercampur dengan parfum mahal pasien terakhir masih menggantung di udara.
Di hadapanku, seorang perempuan muda duduk, menggenggam tisu yang sudah lecek. Air mata masih tersisa di sudut matanya, tapi ia memaksakan senyum—senyum palsu yang aku kenali hanya dalam dua detik pertama.
“Aku rasa… aku terlalu bergantung pada penilaian orang lain, Dok,” katanya lirih. “Terkadang aku berpikir, akan lebih mudah kalau aku mati saja.”
Aku mengangguk pelan. Tidak karena empati. Tapi karena sudah hafal alurnya.
“Apa Anda pernah mencoba menyakiti diri sendiri?” tanyaku.
Ia menatapku dengan mata lelah. “Pernah.”
Aku mencatat sesuatu di buku, meskipun catatan itu tidak penting. Aku sudah tahu jawabannya bahkan sebelum dia masuk ruangan.
Yang menarik bukan bagaimana ia menyakiti diri sendiri. Tapi kenapa ia merasa perlu memberitahu aku.
Pasien-pasien seperti dia selalu datang dengan luka yang bisa ditebak. Mereka ingin diselamatkan. Ingin ditatap sebagai sesuatu yang rusak, agar merasa layak diperbaiki.
Yang mereka tidak tahu adalah—aku tidak ingin memperbaiki siapa pun.
Aku hanya ingin melihat titik rapuh mereka, membuka pintu ke dalam kepala mereka, dan menyaksikan—dengan sunyi dan kesenangan—bagaimana manusia menelanjangi jiwanya sendiri.
Ketika ia selesai bicara, aku menyarankan jadwal sesi berikutnya.
“Terima kasih sudah datang hari ini. Kau sudah membuat langkah besar,” kataku.
Dia mengangguk, hampir menangis lagi karena kalimat sederhana itu.
Dan saat dia berjalan keluar, aku melihat punggungnya dengan satu pikiran:
Berapa banyak luka baru yang akan dia tambahkan malam ini, hanya demi bisa merasa hidup?
Aku tidak pernah lelah bermain peran ini.
Setiap hari aku duduk di kursi ini, menjadi Tuhan kecil di ruang ber-AC, dikelilingi rak buku penuh literatur yang tidak lagi mengagetkanku. Pasien-pasien datang dan pergi, seperti parade dosa yang minta diabsenkan.
Aku tetap mengunjungi Darian. Sekali sebulan, kadang dua kali. Rumahnya suram; aroma obat dan deterjen menyeruak bahkan sejak di ambang pintu.
Ibunya selalu menyambutku dengan syukur yang berlebihan.
“Kamu satu-satunya temannya yang masih mau datang…”
Aku tersenyum, menunduk sedikit.
“Dia adalah bagian dari masa lalu saya, Bu. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”
Darian duduk di kursi rodanya. Tubuhnya kurus, tak berdaya. Setiap kali aku masuk ke kamarnya, matanya menatapku—tajam, penuh ketakutan, namun tak mampu menjauh.
Dan aku menyukainya.
Ketakutan itu tak pernah benar-benar pergi dari wajahnya. Setiap kali aku menyentuh bahunya dengan pelan, ia kaku. Setiap kali aku duduk dan menatap matanya lebih dari tiga detik, ia berpaling. Bibirnya gemetar, seolah hendak berkata sesuatu—tapi selalu tertahan.
Kadang aku bertanya pelan,
“Masih sering mimpi buruk, Darian?”
Ia mengangguk perlahan.
“Apa yang kau lihat dalam mimpi itu?”
Ia diam.
Tapi aku tahu jawabannya.
Ia masih mengingat mataku hari itu—saat tubuhnya melayang jatuh dari atap. Ia tahu aku tak menyesal.
Ia tahu aku melakukannya dengan niat.
Ia tahu ini bukan kecelakaan.
Yang belum dia tahu—atau mungkin pura-pura tak tahu—adalah bagaimana aku sengaja menjatuhkan diri di tangga saat aku berusaha kabur. Tepat di depan kamera pengawas. Menunggu mereka datang, menyeretku kembali ke atas. Memastikan adegan itu terekam. Memastikan mereka meinggalkan lebih banyak luka pada tubuhku sebagai bukti penindasan yang yang tak bisa dibilang ringan.
Aku memilihnya sejak awal. Bukan secara acak. Darian adalah otak dari semua. Pusat dari kerumunan yang dulu menertawakanku.
Aku harus mencabut akarnya—untuk menjatuhkan seluruh pohon.
Dan kini, yang lumpuh adalah tubuhnya.
Sementara aku… aku berdiri tegak, mengenakan jas putih,
dan ia hanya bisa menatapku dari bawah.
Antek anteknya, bagian pohon yang dulu jadi penyokong kekuasaanya telah tiada, aku melenyapkanya.
Seujurnya bagiku mereka bukan monster.
Mereka tidak dilahirkan dengan taring atau mata merah menyala. Mereka duduk di kelas yang sama denganku. Mencontek pekerjaan rumah saat guru lengah, tertawa keras di kantin, dan membawa luka mereka masing-masing dalam diam, seperti kebanyakan manusia lainnya.
Ada diantara mereka yang datang dengan luka hasil pukulan ayahnya yang perlu di tutupi. Bentakan dan cacian keras orang tuanya hingga membuatnya enggan pulang lebih awal. Ada pula yang ikut ikutan hanya karena tidak ingin jadi korban selanjutnya.
Barangkali aku adalah perwujudan dari segala hal yang tidak bisa mereka miliki atau mungkin, kebetulan, aku adalah satu satunya hal yang mereka bisa jatuhkan.
Yang jahat barangkali bukan mereka, melainkan keadaan. Namun tetap saja, akulah yang dipukuli dan ditendang. Aku yang menatap kamera itu—kamera kecil yang tak bersuara namun melihat segalanya. Dan aku yang memilih untuk diam.
Kadang aku bertanya-tanya, siapa sebenarnya korban dalam cerita ini?
Apakah mereka yang menampar dan mendorong, tetapi tumbuh dalam rumah yang penuh teriakan dan pintu yang dibanting? Mereka yang belajar kekerasan seperti anak-anak belajar membaca—perlahan, dari orang tua mereka sendiri?
Ataukah aku, yang disiksa secara fisik dan dijatuhkan harga dirinya, namun kini berdiri di tempat paling tinggi—bukan karena menang, melainkan karena memelihara luka sebagai alat kekuasaan?
Aku mengingat malam-malam sunyi setelah kejadian itu, saat aku berbaring dalam gelap dan membayangkan mereka.
Tidak untuk memaafkan, bukan.
Melainkan untuk membayangkan ulang kejadian itu—berulang kali, dengan akhir yang berbeda.
Kadang aku menang. Kadang aku mendorong balik. Kadang aku hanya melihat mereka jatuh satu per satu, tanpa bisa berhenti tersenyum.
Dan di situlah letak ketakutanku sendiri:
Apakah aku telah berubah menjadi cermin dari mereka?
Atau mungkin, tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar bersih.
Mungkin, sejak awal, kami hanya pewaris luka.
Anak-anak yang tak pernah diajari menyembuhkan, hanya melanjutkan.
Menautkan sakit demi sakit, trauma demi trauma—seperti rantai.
Seperti warisan.
Dan yang paling mengganggu, yang tidak bisa kujelaskan dengan logika atau nurani:
Aku tidak yakin ingin rantai itu putus.
Ada bagian dalam diriku yang menemukan makna dalam rasa sakit itu—seperti seseorang yang telah lama tenggelam dan mulai mengira bahwa air adalah rumah.
Mungkin karena jika rantai itu terputus, aku harus belajar mencintai.
Dan itu jauh lebih menakutkan daripada membenci.
Comments
Post a Comment