Senja di Ujung Stasiun Transit

gaduh yang teredam lagu,
bercampur semilir angin
membelai rambut dan dada yang sengaja tak diungkap.
aku duduk sendiri, tapi tidak kosong—
ada sesuatu yang mengendap, pelan.

senja melambai di ufuk barat,
oranye yang perlahan menggelap
seperti perasaan yang tak ingin terang-terangan sedih,
tapi juga tak mau pura-pura baik-baik saja.

di telinga, lagu sedih terdengar puitis,
bukan ratapan, tapi pengakuan:
aku lelah, tapi damai.
aku sendiri, tapi penuh.
aku diam, tapi mengerti segalanya.

kereta melintas, peluitnya menusuk senyap.
dunia terus berjalan—dan aku?
tetap di sini, menikmati sepi
yang tak ingin buru-buru pulang.

kadang aku ingin menangis,
bukan karena luka, tapi karena keindahan yang sepi ini
terlalu jujur, terlalu dekat dengan diriku yang sering kusembunyikan.

di sini, aku tidak harus tersenyum.
tidak perlu menjelaskan kenapa diam.
tidak ada yang menuntut ceria,
tidak ada basa-basi yang melelahkan.

hanya suara roda besi,
menggesek rel dengan ritme yang entah kenapa
terasa seperti jantungku sendiri—
berdebar, tapi tetap tenang.

aku membuka buku, tapi tak membaca,
menatap halaman seperti cermin,
mencari potongan-potongan diriku
yang hilang di hari kerja,
di percakapan yang dipaksakan,
di tawa yang terlalu keras untuk dipercaya.

di tempat ini,
aku utuh—meski tak lengkap.
aku hadir—meski tak dilihat.
dan itu sudah cukup.

Comments

Popular Posts