#5 - Kejutan Dari Opah

Daddy Draco baru saja mengajak ke empat putrinya singgah dikedai makan baru buka, milik temannya.

Design restonya dibuat seperti rumah jaman dulu. Dibuat semirip mungkin seperti rumah dengan pagar kayu berwarna coklat muda yang terlihat seolah kusam. Seperti rumah lama.

Terletak di pinggir jalan dengan area parkir yang hanya muat untuk kendaraan roda dua, membuat daddy Draco memarkirkan mobilnya cukup jauh dari resto.

Untuk sampai di mobil, mereka harus berjalan melewati bebera ruko kemudian belok kiri sedikit untuk menyebrangi perlintasan rel kereta api.

Kaili berjalan cukup jauh di belakang sedangkan yang lainya sudah hampir mencapai sisi sebrang rel kereta dengan beberapa pejalan kaki yang lain. Di ujung sana, ada sebuah tikungan kecil yang kemudian mulai terlihat kepala kereta muncul dibarengi dengan suara klaksonya yang nyaring. Ada kereta yang hendak melintas.

Orang-orang bergegas menyebrang. Kaili tertinggal. Dia baru bisa menyebrang perlintasan rel kereta setelah kereta ini melintas.

Di jarak yang cukup jauh, namun cukup jelas untuk Kaili menyaksikan dua orang wanita lansia berusaha bergegas menyebrang perlintasan rel kereta. Mereka saling bergandengan, mencoba agar segera sampai di tepi.

Karena panik, salah satu dari mereka terjatuh tepat di tengah rel kereta api dengan kereta api yang semakin mendekat.

Kaili berbalik badan, menutup mata dan telinga. Ada rasa ngeri bahwa ia tahu mereka tidak akan selamat.

"Ngga mau lihat, ngga mau lihat, ngga mau lihat." gumamnya gemetaran.

Suara decitan keras terdengar di telinga. Kereta berhasil mengerem lajunya.

Kemudian dengan sebuah harapan dia berbalik memastikan, mungkin saja mereka selamat.

Kaili menurunkan tangan yang sedari tadi menutupi telinganya. Sedetik kemudian terdengar teriakan histeris dan pemandangan selanjutnya, ia menyaksikan salah seorang dari kedua wanita lansia tersebut mengangkat kepala dari salah satu yang lain, yang telah terpenggal dari badannya.

Dan tangisan, teriakan pilu terdengar hingga membangunkanya.

"DADDYY,"

"DADDYYY, DADDYYY,"

Daddy Draco yang sedang bersantai di teras belakang menikmati kopinya, segera berlari menghampiri sumber suara.

Ia menemukan putri keduanya menangis histeris dan tampak ketakutan.

Kaiyu, Kanet, Kyoo dan pengurus rumah juga terlihat bergegas datang untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Daddy Draco segera menghampiri Kaili yang terduduk dikasurnya kemudian daddy memeluk Kaili menenangkan. Tangisan Kaili nampak menyedihkan, sesenggukan bahkan sampai kesulitan bernafas. Ia memeluk daddy sangat erat, takut. Kaili teramat takut.

Daddy mengusap kepala Kaili dengan sayang. Membumbuhkan kecupan dan berbisik menenangkan.

"It's okay dear, it's okay. Ngga papa sayang. Ada daddy disini."

Ia dengan sabar menunggu sampai putri keduanya selesai menangis. Daddy tahu bahwa Kaili baru saja bermimpi buruk.

"Kak, tolong buka semua gorden nya." Perintah daddy pada Kaiyu yang paling dekat dengan jendela.

Sinar matahari bagus untuk mengusir hawa buruk.

"Mbak, tolong ambilin air putih." Yang langsung dilaksanakan sesegera mungkin oleh pengurus rumah Malfoy.

Semuanya telah berkumpul diruang makan dan Kaili telah menceritakan mimpi buruknya.

Segelas teh manis tampak tandas tinggal setengah. Kandungan gulanya bagus untuk meningkatkan produksi serotonin.

Si kakak kembar sudah jauh lebih tenang sekarang. Sesekali ia masih sesenggukan sisa menagis hebat barusan.

Ia bisa mengingat dengan jelas mimpinya berputar seperti kaset rusak.

Ia ingat tiang listrik dan sedikit tumbuhan liar didekatnya juga kabel- kabel yang melintang diatasnya. Ia ingat jejeran rukonya. Ia ingat ada dua pohon rindang diantara kereta di ujung tikungan. Ia ingat kedua wanita lansia itu memakai baju batik hitam bercorak bunga dengan design kebaya dan rok dari kain batik berwarna coklat.

Ia bahkan masih terngiang dengan klakson dan bunyi decitan kereta juga teriakan histeris.

Yang paling menakutkan, saat dia ingat bagaimana wanita lansia itu mencoba mengapai-gapai mencari sosok teman nya namun yang ia temui adalah kepalanya yang telah terpisah dari badannya.

Kaili ikut merasakan, bagaimana sedihnya, traumatis nya wanita itu.

"Ngga papa, itu hanya mimpi. Cuma bunga tidur." Ucap daddy saat melihat Kaili mulai menangis lagi.

Kanet berada di belakang Kaili mengusap kedua pundaknya.

"Mending sekarang kita berdoa saja sama-sama. Okay?" Usul daddy dan serempak semuanya mengangguk menyetujui.

"Berdoa dimulai."

Semuanya mulai berdoa berdasarkan kepercayaan masing-masing.

"Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua." Ucap daddy sebagai penutup.

"Aamiin." Mereka serempak menyahuti.

Hari ini, hari minggu. Karena itulah semua anggota keluarga Malfoy ada dirumah. Biasanya mereka memiliki rutinitas pergi ke mall untuk sekedar makan bersama atau bersantai di galerry caffe.

Namun hari ini mereka tidak berniat kemana-mana mengingat Kaili yang masih belum stabil paska ia bermimpi buruk.

Riki datang berkunjung, sekalian mengantar bingkisan syukuran renovasi rumahnya. Sebenarnya sudah biasa Riki datang untuk sekedar main atau belajar bersama Kyoo. Bahkan bagi Riki rumah Malfoy sudah seperti rumah kedua. Ia tak lagi merasa sungkan pada daddy Draco yang sudah ia anggap orang tua sendiri.

Kini semuanya tengah berkumpul diruang tengah, termasuk daddy, menonton film Willoughbys pilihan si bungsu.

Film nya cukup seru. Ada lucunya, sedihnya juga ada.

Ditengah film yang sedang berlangsung, telepon daddy berdering. Ia menyingkir sebentar ketempat sepi untuk mengangkat telepon karena disana cukup bising.

Kakak iparnya menelepon, mungkin ada hal penting yang ingin disampaikan, pikirnya.

Setelah selesai berbicara dengan kakak iparnya, daddy kembali ke ruang tengah. Ia meraih remote di meja depan kemudian menekan tombol merah, menghentikan film yang sedang mereka tonton.

"Siap-siap kak, dek, kita pergi ke Jogja sekarang. Opa meninggal dunia."

Bagai disambar petir di siang bolong, mungkin itu yang dapat menggambarkan keterkejutan mereka. Namun tanpa banyak bertanya mereka segera berkemas seperlunya, secepat mungkin.

Tak butuh waktu lama kini daddy Draco dan ke empat putrinya siap menuju bandara. Tiket pesawat dan segala keperluan, sekertaris daddy telah mengurus semuanya.

Riki membantu mang Dadang membawakan beberapa koper yang akan dibawa dan memasukanya kedalam bagasi mobil. Ia mengantar sampai di halaman. Riki turut berduka cita juga sedih atas kepergian opa. Ia cukup mengenal opa dengan baik semasa hidpmya.

Hati Riki sakit menyaksikan Kyoo menangis. Rasanya Riki ingin sekali melarikan jemarinya untuk mengusap air matanya. Untuk berkata menyemangati pun dirinya tak mampu. Ia tahu kalimat baik mana pun tak akan membuat mereka berhenti bersedih.

Maka biarlah mereka menangis, biarkan sedihnya keluar lalu hilang.

"Hati-hati Kyoo, aku tunggu kamu pulang." Kyoo mengangguk. Hanya itu yang mampu Riki ucapkan. Kemudian pemuda itu menyerahkan tas punggung kecil milik Kyoo.

••••••••••

Langit tampak mendung, seolah ikut berkabung. Tangisan terdengar mengiringi kepulangan opa.

Kaiyu terlihat begitu terpukul dipelukan bude. Kakak dari mendiang bunda.

Diantara ke empat bersaudara Kaiyu lah yang paling banyak menghabiskan waktu bersama opa. Dulu setelah bunda pergi, opa dan oma sempat tinggal di Jakarta untuk membatu mengurus cucu-cucunya selama beberapa tahun.

Kaiyu sering tidur bersama mereka. Opa juga sering mengantar jemput nya kesekolah. Banyak moment yang membuat Kaiyu begitu kehilangan.

Tidak ada yang menyangka opa akan pergi secepat ini. Opa tidak punya riwayat penyakit yang serius. Terakhir itu opa hanya sedang sakit flu. Semua orang berfikir itu hanya penyakit biasa yang bahkan bisa sembuh dengan sendirinya.

Opa juga masih terbilang kuat di usianya yang menginjak tujuh puluh lima tahun. Dia masih sibuk beraktifitas fisik seperti berkebun, memancing, lari pagi. Dia masih sanggup menggendong cucu nya yang berumur empat tahun. 

Kepergian opa benar-benar mendadak. Opa pergi dengan begitu damai dan tenang. Mungkin Tuhan ingin opa untuk istirahat lebih dulu.

Kanet dan Kyoo mereka berada diantara para sepupu. Sesekali mereka saling merangkul, mengelus punggung saling menghibur.

Kaili dibantu daddy menopang tubuh lemasnya. Anak itu tampak pucat. Ia bahkan sudah teramat lelah untuk menangis namun air matanya tak mau berhenti mengalir.

Firasatnya benar, mimpinya adalah sebuah pertanda. Dan lagi-lagi ia harus dihadapkan oleh sebuah perpisahan.

Mungkin selain tumbuh tanpa bunda, keluarga Malfoy terlihat sangat sempurna. Mereka tak kekurangan materi, tak kurang kasih sayang. Mereka saling melengkapi.

Namum manusia selalu punya celah. Mereka punya titik lemah. Mereka bisa terkikis dan hancur. Sama seperti Kaili, yang menjadi sangat tidak berdaya dihadapkan oleh sebuah kehilangan.

Comments

Popular Posts